Boleh jadi hampir semua
bisnis konglomerasi di Indonesia dikuasai oleh China Perantauan. Meski
meninggalkan tanah leluhurnya, etnis ini bisa berjaya membangun bisnis
dimana-mana termasuk di Indonesia. Apa pasal? Ternyata tak lebih dan tak kurang
adalah karena adanya nilai-nilai lama yang tetap dianut dan dikombinasikan
dengan nilai-nilai bisnis modern.
Dalam masyarakat China,
nilai-nilai familisme telah memiliki sejarah panjang dan menjadi standar etika
guna menilai benar-salah dan baik-jahat. Maka, tak heran jika masyarakat China
sangat menjunjung tinggi kesejahteraan keluarga. Dengan rela bekerja keras,
hidup sederhana, dan gemar menabung, inilah yang menjadi alasan mengapa banyak
perusahaan yang didirikan kaum China perantauan berbentuk keluarga bisa sukses.
Value-value yang tertanam dalam Overseas Chinese Family
Business ini rupanya menjadi konsentrasi AB Susanto dan sang putri,
Patricia Susanto untuk menulis buku berjudul The Dragon Network. Lantas seperti
apa resensi dari buku karya the first dan second generationThe
Jakarta Consulting ini? Berikut wawancara wartawan SWA, Gustiyanita Pratiwi
dengan AB Susanto dan Patricia Susanto.
Apa yang memprakarsai Anda untuk menulis buku ini serta
mengambil topik ini?
Patricia Susanto : Sebenarnya kami melihat dari sisi konsultasi family
business. Kebanyakan klien kami menanyakan kenapa sih kami tidak bisa
seperti perusahaan A ? Kenapa kami tidak bisa seperti perusahaan B?
Perusahaan-perusahaan yang menjadibenchmark ini kalau dilihat-lihat
kebanyakan ownernyaadalah Chinese Family. Kalau
diruntut lagi, mereka adalah Overseas Chinese Family. Waktu
itu saya juga sempat bertemu dengan editor dari John Wiley, kami berdiskusi dan
mereka memberikan insight bahwa yes, kita memang
perlu tahu lebih banyak tentang apa sih yang membuat Chinese Family ini
bisa berjaya, membangun bisnisnya dari nol, mengembangkannya, dan sustain.
Yang memberikan ide mungkin juga dari John Wiley, bahwa kita harus fokus dan
mempelajari benar tentang Overseas Chinese Family Business ini.
Jadi di buku ini kami mengulas banyak keluarga dari Asia, Filipina, Singapura,
Indonesia sendiri, dan juga di Amerika. Kami juga melakukan research dan
interview dengan mereka untuk bisa mendapatkan masukan apa sih sebenarnya yang
membuat mereka bisa berkembang , berjaya, dan yang paling penting adalah sustain.
Mengapa namanya jadi Dragon Network?
Patricia Susanto: Network-nya ini lebih ke bagaimana
orang Chinese menggunakan jaringan mereka. Bagaimana mereka
merantau ke negara-negara yang ada di Asia Tenggara, Amerika, mereka selalu
berkumpul. Makanya, di mana-mana selalu ada China Town kan? Di kota manapun
pasti ada China Town, biarpun kecil, tapi biasanya ada. Karena mereka sangat
fokus di network. Jadi benar-benarnetwork dan nama baik
itu yang menjadi nomor satu untuk orang-orang Chinese.
Dragonnya ini, karena sebelumnya rencananya akan di-launching pada
tahun naga. Dan dari dulu, kata orang Chinese, dragon itu
memang ada species-nya. Mereka melihat bahwa dragon itu
sesuatu yang baik dan membawa keberuntungan. Itulah mengapa kami menggabungkan dragon dengannetwork.
Di sini kalau dilihat kata Dragon, fontnya juga berbeda, lebih
ke tradisinya. Sedangkan Network itu untuk pengembangan bisnisnya itu sendiri.
Judul ini sebenarnya juga menempuh diskusi yang cukup lama.
AB Susanto : 87% sebenarnya karya putri saya. Saya hanya
penggembira saja. Jadi peran saya hanya sedikit sekali. Buku yang dibuat ini
tidak hanya dijual di Indonesia, jadi kemarin sudah didistribusikan ke Asia,
dan sebagian sudah terkirim ke US dn UK. Jadi mudah-mudahan salah satu buku
yang diterbitkan oleh John Wiley yang bisa diterima, tidak hanya di Indonesia,
tapi diworldwide.
Bagaimana Anda bisa menyampaikan 11 chapter ini
dalam satu buku?
Patricia Susanto : Sebenarnya tadinya lebih banyak, ada sekitar
20-an chapter. Tapi terus kami pilah-pilah lagi, kami ambil
intisarinya. Saya dibantu dengan tim penulis, ada Pak Himawan Wijanarko dan Pak
Haryadi Suripto yang membantu untuk mengolah data, hasil interview, dan research.
Nah kami garap 11 chapter ini di mana kami melihat dari basic-nya
itu apa sih ? Chinese value-nya itu apa? Yakni konfusius.
Kemudian bagaimana mereka mengkombinasikan antara modern managementdan traditional
values. Sedikit intermezo saja, ini diceritakan oleh Andrew
Cheng, pendiri Panda Express. Kalau yang sudah pernah pergi ke
Amerika mungkin pernah makan di Panda Express. Itu sudah ada di mal-mal. Pada
saat mereka pertama kali buka, sepi. Tidak ada yang datang. Andrew dan istrinya
Peggy itu adalah lulusan MIT, very smart people. Kalau tidak salah
istrinya lulusan Stamford, satu lagi dari MIT, mereka buka restoran. Mengapa
buka restoran? Saya juga tidak tahu mengapa. Di situ mereka sudah pakai segala
macam gimmick yang diajarkan di business school, baik
marketingnya, tempatnya, perhitungannya, semua sudah rapi. Tapi waktu buka
pertama kali, tidak ada yang datang. Sepi. Kemudian mamanya datang dan
mengatakan, : “Did you pray before you open your store?” jawabannya,
berdoanya sambil lalu. Mamanya tanya lagi, “Did you put salt in front of
your store?” Kenapa harus tebar garam segala macam? Mamanya menjawab
lagi, “Kita harus berdoa dan menebar garam dong. Kalau tidak nanti menghalangi
auranya”. Karena sepi, ya sudahlah akhirnya diikuti saja, mereka berdoa pakai
hio, tebar garam. 1 jam kemudian, tokonya ramai. Believe it or not? Ada
tradisi-tradisi semacam itu, yang sedikit banyak punya pengaruh. Sehingga
sampai sekarang dia punya sekitar 1000 lebih outlet. Setiap kali dia buka
outlet, mamanya diajak untuk berdoa dan tebar garam. Di mall pun mereka tebar
garam, dilihatin sama orang, ya sudah tidak apa-apa, cuek saja. Traditional
values-nya di situ bahwa kita harus memberikan hormat, minta bantuan, dan
lain-lain. Itu yang mungkin dikombinasikan mereka sehingga akhirnya mereka
dapat mengembangkan diri menjadi konglomerat seperti sekarang. Mereka punya
Ichiban, properti, outlet baru, dll, tapi ada traditional values yang
tetap digunakan. Dari situ, kami masuk juga tentang bagaimana mereka membangun
bisnis dengan risikonya, bagaimana peran seorang istri dalam chinese
family business yang tidak terlihat tapi sangat penting, bagaimana
pengembangan ke depannya, karena kebanyakan anak-anaknya sudah ke luar negeri, valuesnya mungkin
sudah berbeda, tapi bagaimana mengkombinasikan kedua values tadi
itu sehingga bisa seimbang.
Apa hal yang bisa Bapak simpulkan dari ulasan buku yang Bapak
gaungi bersama Patricia?
AB Susanto : Ada 2 aspek yang menonjol. Pertama, kami memang
mempunyai latar belakang keinginan untuk keluar, tidak hanya melihat kungkungan
di Indonesia saja. Kami ingin melihat regional dan kalau bisa perspektifnya
malah dunia atau global sehingga research kami sampai ke
mana-mana. Dua hal yang menonjol tadi adalah, pertama rupanya yang disebut
dengan nama Overseas Chinese Business Values itu agak
dekat-dekat dengan Konfusianism. Kalau biasanya ketika berbicara
mengenai konfusianism, ada 3 hal yang utama. Satu, ren yaitu humanism.
Kemudian ada yang namanya yi, itu lebih berkaitan dengan
masalah-masalah bagaimana kita harus mempunyai justice fairness.
Sedangkan li, yang sering kita dengan dalam dunia bisnis yang
merupakan suatu culture social behavior atau suatu kepantasan.
Tetapi untuk orang bisnis khususnya, itu ada tambahansing, yang lebih
mewakili kata integritas. Jadi sebenarnya ada 5 plus 10 hal. Tapi 4 hal ini
yang paling menonjol kalau kita melihat dalam Overseas Chinese Business.
Lalu yang kedua adalah di dalam masalah leadershipnya sendiri.
Karena leadershipnya sangat menarik, bisa otoritarian atau
demokratik, tergantung dari orang-orang yang dipimpinnya. Tetapi satu hal
yang menonjol adalah adanya ketergantungan yang kuat terhadap seorang figur
yang kita sebut sebagai patrias/matriasnya. Ini menjadi sangat kuat di
sini. Figur ini menjadi figur pemersatu sekaligus figur yang membuat segala
keputusan menjadi lebih cepat dan bergerak dalam satu kesatuan langkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar