PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan bisnis dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan salah satu nilai yang membawa perubahan
mendasar yaitu konsep corporate
social responsibility (CSR), atau tanggung jawab sosial. Tanggung jawab
yang dimaksud adalah perusahaan meluaskan perannya lebih dari sekedar
menggunakan sumber-sumber dayanya dan terlibat dalam aktivitas yang dirancang
untuk meningkatkan keuntungan sesuai dengan aturan
main. Lebih luas dan mendasar, perusahaan harus berperilaku mengarah pada etika
serta berkontribusi terhadap kehidupan yang layak bagi masyarakat, sehingga
diharapkan perusahaan dapat meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan
dampak positif dari kehadiran CSR (Kiroyan, 2006).
CSR menunjukkan kecenderungan yang sangat meningkat di dunia global dan di Indonesia. Adanya kesadaran bahwa keuntungan dan
keberlangsungan suatu entitas usaha secara jangka panjang hanya bisa diperoleh
melalui adanya kesejahteraan masyarakat telah mendorong timbulnya komitmen
perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial (Abidin, 2006). Hasil riset
SWA (2005) menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden perusahaan telah menyadari
pentingnya tanggung jawab sosial bagi perusahaan dan memasukkan unsur-unsur
yang menjadi tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, seperti misalnya
kepentingan stakeholders serta
kepedulian pada masyarakat dan lingkungan dalam kebijakan perusahaan. Penerapan
CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan
menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok,
dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung
perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang
pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan
yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan
dan pertumbuhan yang meningkat (Kiroyan, 2006).
Menurut Abidin (2006), aktivitas CSR telah dipandang
sebagai kewajiban dan tanggung jawab aktivitas dan strategi untuk menjamin
keberlangsungan hidup, implementasi nilai-nilai perusahaan dan aktivitas yang
dapat meningkatkan citra perusahaan. Beragamnya isu sosial yang menjadi
perhatian di tengah-tengah masyarakat dan adanya keterbatasan pada perusahaan,
seperti kemampuan finansial dan sumber daya manusia menghadapkan perusahaan
pada tugas untuk memilih isu sosial yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan
yang diharapkan dari pelaksanaan CSR. Sumardy (2006) menyatakan bahwa
perusahaan harus melakukan cause-business-objective
analysis, yaitu analisis secara
mendalam kesesuaian program CSR dengan misi dan tujuan perusahaan atau merek.
Adanya pendapat dari berbagai kalangan akan pentingnya intregrasi antara
kegiatan CSR dan bisnis. Apabila intregrasi kedua kegiatan ini bisa berjalan
sesuai dengan tujuannya, diharapkan terjadi sinergi yang bisa menguntungkan
perusahaan. Khususnya untuk kegiatan marketing,
beberapa kelompok menamakan intregrasi ini sebagai CSR marketing,
yaitu kegiatan pemasaran seperti pengembangan produk dan promosi yang
dihubungkan dengan kegiatan CSR (Anonim, 2007).
Kotler dan Keller (2006) mengungkapkan bahwa CSR marketing yang berhasil akan memberikan
banyak keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan tersebut antara lain adalah lebih
mudahnya akuisisi customer dan pasar niche baru, kenaikan penjualan,
serta terbentuknya identitas merek yang baik. Hanya saja, agar kegiatan CSR bisa efektif
dan memberikan dampak yang besar, diperlukan strategi dan program yang
terencana dengan baik. Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam
menyusun strategi kegiatan CSR marketing,
yaitu:
1.
Kegiatan CSR harus mempunyai fokus, artinya perusahaan harus memilih satu
atau beberapa tema yang menjadi fokus kegiatan CSR-nya, misalnya tema
pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak
memiliki tema yang menjadi fokus akan mengaburkan tujuan kegiatan itu
dan bisa menghambat dampak yang diharapkan.
2.
Kegiatan CSR harus dilakukan secara konsisten. Apabila perusahaan melakukan
kegiatan CSR-nya secara konsisten dalam jangka panjang, kemungkinan besar akan
mendapat kepercayaan dari stakeholder
dan akan menarik mereka untuk ikut berpartisipasi.
3.
Kegiatan CSR dihubungkan dengan brand
yang dimiliki perusahaan, bertujuan untuk membetuk identitas brand yang baik lewat kegiatan CSR.
4.
Perusahaan memerekkan kegiatan CSR itu sendiri, misalnya dengan cara
memberi nama, membuat logo atau slogan tentang kegiatan CSR tersebut. Dengan
demikian diharapkan perusahaan lebih mudah mengkomunikasikan kegiatan CSR
mereka kepada stakeholder-nya.
Menurut Kotler dan Lee (2005), kegiatan CSR marketing terdiri dari enam bentuk, antara lain corporate cause promotion, cause-related marketing, corporate social marketing, corporate philanthropy, community volunteering dan socially responsibility business practices.
Ketika
sebuah perusahaan menyatakan bahwa sebagian dari keuntungan atau penjualan
produknya akan disumbangkan untuk kegiatan sosial tertentu, maka perusahaan
tersebut sedang melakukan apa yang disebut sebagai cause-related marketing.
Cause-related marketing menjadi terkenal dalam dunia bisnis dalam beberapa
tahun terakhir. Sejak tahun 1990 nilai dari cause-related marketing meningkat lebih dari 500% tanpa adanya indikasi
yang menurun di kemudian hari. Selama periode tahun 1990-an cause-related marketing menjadi alat pemasaran yang efektif bagi
perusahaan. Popularitas cause-related marketing terus semakin meningkat semenjak terjadinya tsunami di Asia pada tahun
2004 dan menjadi tren dikalangan perusahaan (Endacott, 2004).
Polonski dan Speed (2001) menjelaskan cause-related marketing merupakan donasi dari perusahaan kepada penerima
atau cause yang berbasis dari jumlah
pendapatan yang diterima perusahaan dari hasil penjualan produk, Varadarajan
dan Menon (1988) menyatakan cause-related marketing adalah aktivitas pemasaran, suatu cara agar
perusahaan menjadi baik dengan melakukan kegiatan yang baik. Manfaat dari cause-related marketing menurut Endacott (2004) adalah situasi yang saling
menguntungkan bagi bisnis, penerima (cause) dan konsumen. Konsumen memperoleh kesempatan
untuk dapat membantu cause.
Penerima (cause) program cause-related marketing akan memberikan keuntungan bagi perusahaan berupa
publisitas yang dapat meningkatkan penjualan produk serta good corporate citizen. media utama perusahaan dalam mempromosikan
kegiatan cause-related marketing adalah
dengan menggunakan iklan di berbagai media.
Iklan cause-related marketing merupakan bentuk
presentasi nonpersonal dan promosi ide, barang dan jasa yang dikendalikan oleh perusahaan
tertentu untuk memberitahukan dan membujuk segmen pasar yang dipilih oleh
perusahaan tersebut. Iklan tersebut merupakan komunikasi searah dari produsen
kepada konsumen, yang bertujuan untuk menyampaikan pesan, memberitahukan produk
dan jasa, atau untuk menarik konsumen dan merangsang pembelian melalui kampanye
cause-related marketing. Oleh karena
itu, iklan mengenai cause-related
marketing yang ditayangkan melalui berbagi media harus dirancang dengan
baik sehingga menarik pemirsanya (Belch dan Belch 2004).
Cause-related
marketing meningkatkan
pengetahuan yang beragam terhadap dampak dan kinerja pemasaran. Sen dan
Bhattacharya (2001) mengungkapkan adanya efek yang positif dari cause-related marketing yang berdampak
meningkatnya persepsi konsumen terhadap citra perusahaan. Webb dan Mohr (1998)
menyatakan adanya konsumen yang membeli produk dengan penawaran program cause-related marketing oleh perusahaan
tidak memberikan efek positif terhadap perilaku pembelian produk. Sebuah studi
yang dilakukan oleh Creyer dan Ross (1997) menunjukkan konsumen akan memberikan
perhatian lebih kepada perusahan yang memiliki etika yang baik serta menjauhi
perusahaan yang tidak beretika. Lebih lanjut, Barone et al. (2000) menemukan konsumen yang berpindah pilihan produk
kepada perusahaan lain karena perusahaan tersebut menerapkan program cause-related marketing, yakni
terjadinya evaluasi secara umum oleh konsumen yang lebih tertarik kepada
perusahaan yang melakukan program cause-related
marketing ketika menawarkan produk baru.
Cause-related
marketing dapat
meningkatkan kegiatan pemasaran produk tergantung pada pola kampanye program
melalui berbagai macam strategi yang tepat. Varadarajan dan Menon (1988)
menyatakan bahwa jenis strategi yang dilakukan dalam cause-related marketing terdiri dari dua bentuk, yaitu cause-related
marketing strategis dan cause-related
marketing taktis. Perusahaaan dalam mendeterminasikan cause-related marketing strategis dan taktis melalui empat pendekatan,
yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah
investasi (amount of investment) dan keterlibatan manajemen (management
involvement). Determinasi empat faktor tersebut apabila memiliki nilai yang
rendah umumnya menunjukkan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara taktis, sedangkan apabila memiliki
nilai yang tinggi menunjukkan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara
strategis. Pendekatan cause-related marketing
tidak sepenuhnya harus secara taktis maupun strategis, tetapi setidaknya
memiliki karakteristik dari bentuk taktis dan strategis. Empat dimensi tersebut
menjadi dasar yang baik bagi perusahaan untuk terlibat dalam cause-related marketing.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan
replikasi dari eksperimen penelitian Brink et
al (2006). Program cause-related marketing diduga berpengaruh positif dalam membangun loyalitas
merek. Loyalitas merupakan
konsep penting khususnya pada kondisi pasar dengan tingkat pertumbuhan yang
sangat rendah namun tingkat persaingannya sangat ketat. Keberadaan konsumen
yang loyal terhadap suatu merek sangat dibutuhkan agar perusahaan dapat
bertahan hidup. Adanya kegiatan cause-related
marketing diharapkan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap merek
produk. Strahilevitz dan Myers (1998) menjelaskan bahwa hubungan antara cause-related marketing dengan loyalitas
merek dapat ditingkatkan dengan adanya keterlibatan konsumen. Kampanye cause-related marketing lebih efektif
dengan memberikan informasi yang luas kepada konsumen agar membeli produk dan
menyumbangkan sebagian dananya untuk kegiatan filantropi. Keterlibatan konsumen
dapat dijadikan sebagai faktor pemoderator antara cause-related marketing dengan loyalitas terhadap merek. Keberadaan
konsumen yang loyal terhadap suatu merek sangat dibutuhkan agar perusahaan
dapat bertahan hidup.
Pemasaran Holistik
Kotler dan Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran
holistik adalah konsep yang berbasis pengembangan, desain, implementasi dan
aktivitas proses pemasaran yang dikenali memiliki nilai ketergantungan yang
tinggi. Pendekatan holistik didasari pada cara untuk mengatasi berbagi
permasalahan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran holistik
merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran
internal (internal marketing),
pemasaran integrasi (integrated marketing),
pemasaran relasional (relationship marketing)
dan pemasaran sosial (societal marketing).
Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yang memandang bahwa organisasi berusaha
menentukan apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan dari
target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior kepada konsumen
dengan cara-cara yang dapat mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan
konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar untuk dapat menyeimbangkan tiga
pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu
keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, dan kepentingan masyarakat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan
konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran digunakan untuk
memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005).
Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi
pasar, riset konsumen, pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi
yang diarahkan, pemberian fasilitas, insentif-insentif dan perubahan teori
untuk memaksimumkan tanggapan kelompok sasaran. Asumsi dasar penelitian ini
adalah bahwa konsep pemasaran sosial yang condong untuk aktivitas komersial,
sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan masyarakat
yang bersifat non profit. Kotler dan Keller (2006) menyebutkan:
“Social
marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements
of traditional approaches to social change in an integrated planning and action
framework and utilities advances in communication technology and marketing
skills”
Pemasaran sosial akan dibawa ke masyarakat oleh institusi yang berkepentingan
untuk mengubah perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk dari
produk sosial antara lain berupa ide sosial, yaitu bentuk dari keyakinan, sikap
atau nilai. Ide sosial yang dipasarkan dapat pula merupakan sebuat sikap atau
sebuah nilai.
Belch dan Belch (2004) menjelaskan bahwa pertukaran nilai
menjadi konsep sentral dari societal
marketing dan pertukaran ini tidak hanya terbatas pada pertukaran uang
untuk barang atau jasa. Sebagai contoh misalnya dalam hubungan antara
perusahaan donor dan lembaga nirlaba terkait dengan suatu isu sosial. Lembaga
nirlaba akan menerima sejumlah donasi dari perusahaan, namun demikian
perusahaan sponsor tidak menerima bentuk keuntungan material dan kontribusi
yang diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran
untuk keperluan sosial dan psikologis bagi perusahaan, seperti misalnya feelings of goodwill dan altruisme.
Cause-Related
Marketing
Permulaan dari frase cause-related marketing ditujukan kepada
perusahaan kartu kredit American Express
yang menjalankan strategi pemasarannya pada tahun 1983. Tujuan awal perusahaan
adalah meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit, yang kemudian berkembang
dengan strategi pemasaran lanjutan untuk berkomitmen untuk mendonasikan
sebagian dana, guna restorasi patung Liberty di
Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji untuk mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, serta
satu dollar dari penerbitan kartu
kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit
sebesar 28 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kampanye yang dilakukan American Express
untuk memperbaiki patung Liberty
menghasilkan dana sebesar US$ 1,7 Milyar (Westberg, 2004).
Varadarajan dan Menon (1988)
mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yang menjelaskan munculnya konsep sejalan
dengan teori yang hampir sama dengan corporate
social responsibility:
Cause-related
marketing is the process of formulating and implementing marketing activities
that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific
amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing
exchanges that satisfy organizational and individual objectives
Cause-related
marketing merupakan aktivitas yang spesifik yaitu
perusahaan berjanji kepada konsumen untuk mendonasikan sumberdaya perusahaan
dari setiap penjualan produk atau jasa kepada orang-orang yang membutuhkan
bantuan. Kampanye cause-related marketing
memiliki dua tujuan, yaitu untuk mendukung kegiatan sosial serta untuk
meningkatkan hasil pemasaran. Program cause-related
marketing dilaksanakan setidaknya oleh tiga stakeholders, yaitu konsumen perusahaan, shareholders dan satu stakeholder yang tidak berhubungan
langsung dengan aktivitas komersial dari perusahaan (Varadarajan
dan Menon, 1988).
Menurut Polonski dan
Speed (2001), banyak
keuntungan yang bisa diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan
melakukan cause-related marketing.
Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yang sedari
awal sudah tertarik untuk melakukan cause yang kemudian dipromosikan
oleh perusahaan. Keuntungan kedua adalah tersedianya dana untuk membiayai
kegiatan sosial tertentu. Manfaat ketiga, kegiatan sosial bisa ditentukan
oleh perusahaan, yang melihat keterkaitan antara produknya dengan kegiatan
sosial tertentu. Perusahaan yang melakukan cause-related
marketing akan bisa mendapatkan ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Cause-related marketing akan
menghubungkan antara produk dengan isu tertentu, dan konsumen yang tertarik
dengan isu tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan isu
yang menjadi perhatiannya. Keempat, hasil penjualan bisa meningkat karena
tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan dengan pihak-pihak
yang memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir adalah perusahaan
akan menikmati identitas merek yang positif.
Sundar (2007) menyatakan adanya klarifikasi yang jelas
perbedaan diantara cause-related
marketing dengan philanthropy
perusahaan dan sponsorship. Cause-related marketing
tidak termasuk dalam philanthropy
perusahaan dan sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan
uang kepada pihak nonprofit, berdasar
kepada jumlah produk yang dapat terjual kepada konsumen. Program spesifik yang
dilakukan dalam cause-related marketing
adalah penjualan dan promosi suatu produk. Donasi program murni ditentukan oleh
perusahaan. Sponsorship adalah
kegiatan yang melibatkan uang dan barang kepada pihak lain yang bertujuan
mengenalkan produk tertentu dan nama perusahaan melalui kegiatan yang diadakan
oleh pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship
dengan pihak lain melalui perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak
mengenai jumlah dan cara donasinya. Perbedaan antara cause-related marketing dengan philanthropy
perusahaan dan sponsorship tersaji
pada Tabel
2.1 berikut:
Tabel
2.1
Perbedaan
antara Philanthropy Perusahaan, Sponsorships
dan Cause-Related
Marketing
Aktivitas
|
Philanthropy Perusahaan
|
Sponsorships
|
Cause-Related
Marketing
|
Fokus Utama
|
Organisasi
|
Produk dan Organisasi
|
Produk
|
Susunan Waktu
|
Berkelanjutan
|
Terbatas
|
Dapat berkelanjutan dan terbatas
|
Organisasi
|
Manajemen Puncak
|
Departemen Pemasaran
|
Departemen Pemasaran
|
Tujuan
|
Meningkatkan kompetensi organisasi untuk
kegiatan sosial
|
Meningkatkan brand awareness dan target
market
|
Meningkatkan penjualan produk
|
Asosiasi dan Sumber daya
|
Tidak ada
|
Asosiasi untuk pengenalan dan perhatian konsumen terhadap produk
|
Asosiasi agar konsumen memiliki kontribusi
sosial
|
Hasil Kunci
|
Tidak ada
|
Sikap, perilaku dan perhatian konsumen
|
Sikap, perilaku dan perhatian konsumen
|
Pengaruh terhadap penjualan
|
Tidak ada
|
Berpengaruh secara tidak langsung
|
Berpengaruh secara langsung
|
Penerimaan dana
|
Tidak ada
|
Eksklusif kepada sponsor
|
Terbagi pada perusahaan dan sponsor
|
Sumber: Sundar, (2007)
Menurut Kotler dan Lee (2005), terdapat berbagai macam
cara untuk melakukan cause-related
marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap
produk terjual, (2) jumlah uang tertentu setiap aplikasi terhadap produk jasa
tertentu, (3) persentase tertentu dari penjualan produk, (4) proporsi yang
tidak ditentukan sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan
kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase tertentu dari
keuntungan bersih, (7) penawarannya mungkin terkait dengan satu produk saja,
atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku untuk
kerangka waktu tertentu atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan
batas atas dari kontribusi (bukan dengan waktu).
Dari berbagai
contoh cause-related marketing di
Indonesia, terdapat kecenderungan menggunakan jumlah uang tertentu pada setiap
produk yang terjual, seperti yang dilakukan PT Unilever Indonesia Tbk terhadap
produk sabun Lifebouy dan produk es krim Walls. PT. Unilever Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan yang memiliki
perhatian lebih terhadap kegiatan tanggung jawab sosial. PT. Unilever Indonesia
menyadari pentingnya memberi dan berbagi, bukan semata untuk meningkatkan
reputasi, tetapi membantu perusahaan untuk terus tumbuh dan berkembang. Bagi
Unilever Indonesia (UI), tanggung jawab sosial tidak terpisahkan dari bisnis.
Setiap hari, begitu banyak orang Indonesia memakai produknya untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi, kesehatan, dan kebersihan. Mereka ikut membantu perusahaan untuk
terus tumbuh dan menjadi perusahaan fast
moving consumer goods terkemuka. Berbagai manfaat dari pertumbuhan bisnis
telah menjadi bagian dari budaya perusahaan yang telah diwujudkan dengan
mengikutsertakan usaha kecil menengah (UKM) dalam kegiatan produksi,
menciptakan kesempatan kerja, dan memberikan manfaatnya kembali kepada
masyarakat (Susanto, 2007).
Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan
bagi keluarga Indonesia untuk mendukung program peningkatan kesadaran
masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp.
10- pada setiap pembelian sabun batang Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh
ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul
interaktif mengenai perawatan kesehatan pribadi. Bahkan dana tersebut cukup
untuk membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak
menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka dan mendorong terciptanya gaya
hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta dalam memberikan cap kedua
tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka untuk mendukung
peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan dan promosi
yang bertanggung jawab, tetapi juga memadukan kampanye sosial kesehatan bersama
promosi produk. Di dalam komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan tentang
manfaat produk itu sendiri, tetapi juga pesan-pesan pendidikan mengenai
kesadaran hidup sehat (Susanto, 2007).
Selain program “Lifebouy Berbagi Sehat”, PT.
Unilever Indonesia
juga melakukan program cause-related marketing melalui
produk es krim Walls. Berangkat dari
rasa keprihatinan dan kepedulian terhadap kemajuan pendidikan anak Indonesia saat
ini, Unilever menyelenggarakan
program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” yang
bertujuan untuk membantu menyekolahkan anak-anak kurang mampu dengan dana yang
didapat dari hasil penjualan es krim Walls dan akan disumbangkan melalui Dompet Dhuafa. Melalui program
“Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta”, Wall’s akan menyumbangkan Rp
1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya yang
terjual, kepada 1.000 anak kurang mampu yang berprestasi di 33 propinsi di
Indonesia melalui lembaga terpercaya, Dompet Dhuafa. Program “Wall’s Berbagi
1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” diselenggarakan mulai September 2007, menjelang
bulan suci Ramadhan, yang merupakan momen istimewa untuk berbagi dan memberi
kepada sesama. Program ini berakhir pada Desember 2007 (Anonim, 2007)
Cause-Related
Marketing Strategis dan Taktis
Menurut Mohr et al.
(2001), kegiatan cause-related marketing
dalam pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi
nonprofit serta konsumen. Namun,
pengaruh yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi tertentu,
yakni pola kampanye program cause-related
marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam kampanye cause-related marketing terdiri dari dua
bentuk, yaitu pola strategis
dan taktis. Pola cause-related marketing taktis memiliki perbedaan yang mendasar
dengan pola cause-related marketing strategis,
namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration),
jumlah investasi (amount of investment),
dan keterlibatan manajemen (management involvement)
Gambar 2.1
Skema dari cause-related
marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et
al. (2006).
Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis adalah komitmen
perusahaan melakukan kegiatan cause-related
marketing dalam jangka waktu yang lama, keterlibatan manajemen yang
menyeluruh dari puncak hingga bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan dalam
program besar, serta adanya kesesuaian hubungan yang tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini
produk, brand image, positioning dan target pasar. Perusahaan
yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka
waktu yang terbatas dan dalam periode waktu tertentu, keterlibatan manajemen dalam program sebatas kelompok
yang dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan tidak sebesar strategic cause-related
marketing, serta
kesesuaian hubungan yang tidak tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan
lini produk, brand image, positioning dan target pasar
(Varadarajan dan Menon, 1988).
Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan
aktivitas cause-related marketing
diyakini memberikan efek positif bagi perusahaan. Namun demikian, efek positif
tersebut tidak terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah menerima inisiatif
sosial untuk kemudian memberikan reward
kepada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial
akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam
hubungannya dengan perusahaan (Becker et
al, 2006).
Salah
satu variabel yang memiliki peran penting dalam proses evaluasi konsumen
terhadap aktivitas cause-related
marketing adalah perceived congruence
(Ellen et al, 2006). Konsumen akan
bersandar pada level congruence atau kesesuaian
antara perusahaan sponsor dan aktivitas filantropi untuk memutuskan apakah
pantas bagi perusahaan tersebut untuk terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen memiliki keyakinan yang kuat bahwa
perusahaan seharusnya mensponsori isu-isu sosial yang memiliki asosiasi logis
dengan aktivitas perusahaan (Menon dan Kahn, 2003).
Varadarajan
dan Menon (1988) menyatakan bahwa dalam
cause-related
marketing, congruence
atau fit didefinisikan sebagai
kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar. Congruence atau fit berasal dari asosiasi bersama antara
merek dan filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas dengan target
segmen spesifik, corporate image
associations yang terbentuk akibat aktivitas merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, dan keterlibatan
personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003). Definsi lain mengenai congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) sebagai kesesuaian antara
perusahaan dan isu sosial yang dapat diperoleh dari misi, produk, pasar,
teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.
Becker
et al. (2006) mengemukakan bahwa
peran penting congruence didasarkan
oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence
berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu pada suatu
hubungan, misalnya
meningkatkan elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau hubungan
itu sendiri ketika dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal dan informasi
yang ada. Alasan kedua adalah congruence
berpengaruh pada tipe spesifik yang timbul dalam pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran
negatif dan low congruence itu
sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mempengaruhi evaluasi dari dua objek. Jika konsumen
mengelaborasi keadaan incognity maka
terdapat kecenderungan untuk mengurangi sikap mereka terhadap perubahan dan
inisiatif sosial dan mempertanyakan motif dari apa yang dilakukan oleh
perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). Chandon et
al. (2000) menjelaskan bahwa incongruent
yang dirasakan lemah atau tidak ada pada aliansi antara organisasi menunjukkan
bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih dalam pada informasi
yang ada untuk menentukan alasan dari aliansi tersebut.
Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006), salah satu dimensi
dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yang panjang dalam suatu hubungan terlihat adalah
penting bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan
durasi waktu yang panjang adalah bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut
berjalan dengan waktu yang lama, maka akan terbentuk hubungan partnership yang akan membentuk komitmen
perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa
dan Segal (2001) dalam Wymer dan Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yang
lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit untuk tidak mencari
keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang diharapkan dari para
pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat
publisitas dan pengenalan yang besar untuk dukungan mereka.
Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa
beberapa perusahaan bisnis tidak tertarik terhadap hubungan-hubungan jangka
panjang dalam program cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan
organsiasi non profit melalui
pembatasan waktu. Perusahaan memandang hubungan-hubungan dalam jangka waktu
yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran hasil yang lebih baik,
serta memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat dalam hal biaya-biaya yang lebih
rendah. Perusahaan melakukan kegiatan
bisnis dengan tujuan utama untuk
mencari keuntungan menyebabkan pengalaman para pemasar cenderung untuk memiliki
harapan-harapan yang lebih realistis.
Menurut Sundar (2007), terdapat dua bentuk
durasi program cause-related marketing berdasarkan waktu, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan
pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai
contoh, perusahaan melakukan program cause-related
marketing dalam jangka waktu tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan
kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yang panjang,
namun tidak secara permanen.
Hubungan antara cause-related
marketing perusahaan
dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat meningkatkan brand equity melalui kerjasama dalam
waktu yang lama dengan organisasi tersebut. Asosiasi kedua pihak menciptakan
ingatan jangka panjang (long term memory).
Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat
mengatur kembali asosiasi network
dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yang menghubungkan
antara perusahaan dan konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran
dasar asosiasi, perusahaan dapat meningkatkan dengan mudah dan kuat investasi
mereka dalam hal yang terkait dengan cause-related marketing (Till dan Nowak, 2000).
Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan
cause-related
marketing seharusnya
tidak dianggap sebagai cost semata,
melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan.
Perusahaan harus yakin bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing
dengan meningkatnya apresiasi dunia
internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related
marketing secara konsisten dalam jangka panjang
akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.
Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang
bersangkutan. Dari segi penyampaian dan peruntukannya, banyak perusahaan yang
sudah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga
sangat sistematis dan metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yang
pengeluaran dana CSR-nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat
(Susanto, 2007).
Cause-related
marketing
dapat dilihat sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap kegiatan sosial.
Pada dasarnya program cause-related
marketing
memiliki dua tujuan utama, yaitu meningkatkan performa perusahaan dan
memberikan bantuan sosial yang berguna, dengan meningkatkan anggaran yang
sebagian dari keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan untuk
kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki
anggaran yang tetap sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari
anggaran cause-related
marketing
lebih banyak digunakan melalui iklan yang ditayangkan di suratkabar atau televisi
untuk mempromosikan kegiatan cause-related
marketing
tersebut. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yang positif dari konsumen
terhadap kegiatan cause-related
marketing,
yang secara tidak langsung di sisi lainnya adalah produk yang berkaitan dengan
program cause-related
marketing
dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan dan Menon, 1988).
Keterlibatan
Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru dapat
menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan
benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam
perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan
penuh antusias dari karyawan akan menjadikan program-program tersebut tidak
berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai
dari program-program tersebut akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar
bagi perusahaan.
Miller (2002) menjelaskan faktor utama yang dapat
meningkatkan kesetiaan pelanggan dalam suatu kegiatan pemasaran yang terkait
dengan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam program tanggung jawab
sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing adalah penting bagi suatu kemitraan untuk tidak mencari
keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan
karyawan dan manajemen puncak perusahaan yang dapat mendukung program cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang
tinggi dari perusahaan untuk kemitraan dalam jangka waktu yang panjang, yang
pada akhirnya akan membangun loyalitas dengan konsumen. Ketika
mengembangkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan
perlu memahami keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yang paling mudah
dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai dengan kemampuan
perusahaan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial.
Kegiatan cause-related marketing yang berhubungan
dengan CSR memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut
Susanto (2007), tahapan-tahapan tersebut antara lain:
1. Membentuk
tim kepemimpinan
Biasanya
tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen puncak, dan
pemilik serta sukarelawan dari berbagai unit dalam perusahaan yang terkena
dampak atau terlibat dengan isu-isu seputar cause-related marketing
dalam CSR.
2. Merumuskan
definisi program
Perumusan
definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas penilaian selanjutnya,
dapat juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan.
Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih
menjamin tercapainya tujuan dan penerimaan dari aktivitas cause-related marketing
dalam CSR.
3. Melakukan
kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen
ini mencakup misi, kebijakan, code of
conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara
khusus memiliki proses pengambilan keputusan yang spesifik serta proses
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari kegiatan
operasionalnya, aktivitas-aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan
produk dan layanan yang dihasilkan.
4. Mengidentifikasi dan melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-isu penting yang sedang
hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi dengan stakeholder kunci, khususnya pihak
eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yang mereka miliki. Adalah
penting untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, karena stakeholder dapat melihat sebagai
kesempatan untuk mengemukakan pandangan mereka mengenai perilaku perusahaan,
Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder
ini adalah memetakan definisi mereka mengenai keberhasilan dalam rangka
kerjasamanya dengan perusahaan.
Periklanan
dalam Cause-Related Marketing
Menurut
Belch dan Belch (2004), iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan
suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Posisi strategis
iklan korporat dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Seluruh iklan
tersebut diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan
reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang
keterlibatan masyarakat. Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan
produk, apalagi membujuk orang untuk membeli, tetapi arahnya sebagai alat
kehumasan (public relations). Iklan
dilakukan untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk
yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, iklan korporat terkadang digunakan
untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham,
pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif dan para profesional, atau khalayak
spesifik.
Salah
satu metode dalam pemasaraan yang saat ini cukup populer di dunia adalah cause-related marketing yang membangun
merek dengan membuat suatu hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan
organisasi amal. Gaya pemasaran yang berdimensi sosial dan empatik dapat
melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang
sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar mengeluarkan
uang untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah
sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related
marketing) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk
membantu memecahkan problema sosial.
Beberapa
promosi cause-related marketing bukan saja membebaskan perusahaan
untuk menyediakan dana promosi tambahan, tetapi malah meraup dana melalui
konsumen. Dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah alat
kehumasan yang peduli. Keuntungan perusahaan diperoleh dari publisitas isu
sosial yang membutuhkan donasi amal yang cukup besar. Gaya promosi simpatik
semacam ini banyak diterapkan pada era tahun 2000-an Sejak tahun 1990,
investasi promosi yang ditanamkan perusahaan dalam program cause-related marketing terus meningkat sebesar 300%, mencapai $
828 juta di tahun 2002 (Kotler dan Lee, 2005).
Keterlibatan
Konsumen dalam Produk (Consumer Product Involvement)
Berdasarkan
Traylor (1981), keterlibatan produk didefinisikan sebagai derajat tingkat
kepentingan seorang konsumen untuk membeli suatu produk, sedangkan keterlibatan
konsumen dalam produk didefinisikan sebagai kepentingan personal yang terlibat
dengan kategori dari produk. Dimensi dari keterlibatan menurut
Quester dan Lim (2003) terdiri atas:
1.
Interest (keinginan)
Interest
adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan memiliki nilai yang penting.
Elemen interest adalah
kepentingan pada produk,
keinginan pada
produk dan permasalahan pada produk.
2.
Pleasure (kesenangan)
Pleasure
adalah nilai hedonis dari produk yang memiliki kemampuan untuk menyediakan
kenyamanan dan kesenangan. Elemen dari pleasure
adalah kesenangan ketika membeli produk dan kesenangan memiliki produk.
3.
Sign (tanda)
Sign adalah nilai produk yang diekspresikan
oleh seseorang. Elemen sign berupa personifikasi konsumen
dalam memilih produk.
4.
Risk
Importance (resiko penting)
Risk importance
adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang diasosiasikan pada pilihan
produk buruk. Elemen risk
importance
terdiri dari nilai
penting ketika melakukan kesalahan dalam
memilih produk, nilai penting
ketika produk tidak nyaman dan ketika membuat kesalahan pilihan.
5.
Risk
Probability (resiko kemungkinan)
Risk probability
adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk. Elemen risk probability
adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian dalam mengambil produk dan
kerumitan dalam mengambil keputusan.
Quester dan Lim (2003) mengungkapkan bahwa produk dengan keterlibatan
tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada keterlibatan
konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi
kepuasan (sign) dapat memiliki produk
sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat pilihan (risk importance) dan mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi pada produk.
Menurut Assael (1998), definisi kognitif dari loyalitas
merek menunjukkan loyalitas merepresentasikan komitmen serta keterlibatan
konsumen dalam produk. Loyalitas terhadap merek akan tinggi ketika konsumen
secara personal terlibat dengan merek dan melakukan pembelian. Hal ini menunjukkan keterlibatan produk tinggi, sehingga merek merupakan sumber identifikasi diri. Contoh
produk dengan keterlibatan tinggi adalah telepon genggam, kosmetik, sepatu dan rokok. Apabila konsumen dalam membeli produk tanpa komitmen, maka
keterlibatan konsumen pada produk rendah. Konsumen tidak memiliki opini yang kuat terhadap
merek produk. Contoh produk dengan keterlibatan produk rendah adalah sabun, bolpen, dan sikat gigi.
Pembuatan keputusan konsumen tidak dapat dilepaskan dalam
kaitannya dengan tingkat keterlibatan konsumen. Keterlibatan adalah tingkat
kepentingan pribadi yang dirasakan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus
di dalam situasi spesifik. Hawkins et al
(2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian
dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh
stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan ditentukan
oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi konsumen yang pada akhirnya
menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.
Assael (1992) menyatakan terdapat dua tipe keterlibatan
konsumen yaitu keterlibatan situasional (situational
involvement) dan keterlibatan tahan lama (enduring involvement). Keterlibatan situasional hanya terjadi
seketika pada situasi khusus dan temporer sifatnya. Keterlibatan situasional
tercipta dari simbol-simbol nilai kelompok rujukan pada suatu produk (bedge value) serta adanya resiko
pembelian. Konsumen akan terlibat secara situasional pada produk-produk yang
ada hubungannya dengan simbol-simbol dan nilai-nilai kelompok rujukan.
Keterlibatan situasional disebabkan oleh adanya resiko dalam pembelian, karena
konsumen merasakan adanya ketidakpastian mengenai keputusan pembelian serta
adanya akibat buruk yang potensial dari pembuatan keputusan.
Tipe keterlibatan tahan lama (enduring involvement) berlangsung lebih lama dan lebih permanen
sifatnya, artinya tingkat keterlibatan konsumen terhadap suatu merek produk
lebih memperhatikan resiko sosial yang mungkin diterima oleh konsumen. Keterlibatan tahan lama mendorong keputusan
pembelian yang penuh pertimbangan, informasi alternatif banyak dikumpulkan, dan
evaluasi alternatif pun dilakukan namun lebih cenderung loyal di kemudian hari.
Informasi alternatif tidak banyak dikumpulkan dari kehadiran keterlibatan situasional.
Keterlibatan situasional dapat berangsur menjadi keterlibatan permanen bila
ternyata pembeliannya yang tiba-tiba tersebut memenuhi kebutuhan dan
keingianannya yang telah lama tersimpan dalam benak konsumen (Kotler dan
Keller, 2006).
1 komentar:
sepatu bandung terimakasih
Posting Komentar